kabaris.com - Utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2022 mencapai Rp 443,8 triliun. Porsi tertinggi terjadi pada semester I-2022.
"Utang jatuh tempo pada 2022 tersebar dari awal hingga akhir tahun, dengan porsi sedikit lebih tinggi di semester 1," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pendanaan DJPPR Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Riko Amir kepada CNBC Indonesia, Rabu ( 15/12/2021)
Keyakinan ini didasarkan pada kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kembali produktif. Dimana penerimaan negara tumbuh positif, jauh berbeda dibandingkan tahun 2020 yang mengalami kontraksi hingga 16%.
Pendapatan pada 2022 ditargetkan mencapai Rp 1.846,1 triliun. Target tersebut belum termasuk dampak positif penerapan undang-undang tentang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP), termasuk peningkatan PPN dan program amnesti sukarela atau tax amnesty.
Di sisi lain, Amir juga mengizinkan pelonggaran kewajiban pembayaran, misalnya dengan memperpanjang tenor utang yang akan jatuh tempo.
“Secara umum perpanjangan tenor utang yang akan jatuh tempo bisa dilakukan melalui mekanisme pasar dan merupakan alat yang digunakan di banyak negara. Misalnya pemerintah melakukan cash buyback atas utang yang jatuh tempo pada 2022. Transaksi ini bisa mengurangi kupon (bunga utang). yang akan dibayarkan pada 2022,' kata Amir.
Kementerian Keuangan juga bisa melakukan exchange atau debt switch. Langkah yang sama dilakukan tahun ini, yakni menarik utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu tertentu dan selanjutnya menerbitkan utang baru dengan tenor yang lebih panjang.
“Selain untuk mengendalikan risiko refinancing, transaksi ini dapat disertai dengan penurunan kupon yang akan dibayarkan di tahun-tahun mendatang, serta peningkatan likuiditas di pasar,” jelasnya.
“Namun, pelaksanaannya melalui mekanisme pasar dengan tetap memperhatikan kondisi pasar keuangan, serta minat investor,” kata Amir.
Ekonom & Riset Pendapatan Tetap Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro menilai pengelolaan utang Indonesia sejauh ini sangat baik. Diharapkan tahun depan penerbitan utang baru dapat ditekan seiring dengan tingginya harga komoditas dan peningkatan penerimaan pajak serta besarnya kelebihan saldo anggaran (SAL).
Selain itu, kewaspadaan masih harus ditingkatkan, mengingat munculnya varian baru Covid terhadap kebijakan moneter di negara maju. Salah satunya adalah Amerika Serikat (AS) yang mampu mengguncang pasar keuangan global.
“Sebenarnya pasar memprediksi penerbitan utang tahun depan bisa lebih rendah. Dalam kondisi defisit fiskal yang menurun, apalagi penurunan hampir 1% dari PDB, seharusnya penerbitan utang turun, bukan meningkat,” kata Satria kepada CNBC Indonesia.