kabaris.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Selasa (14/12) fluktuatif. Maklum, ada bank sentral AS (The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis dini hari waktu Indonesia, yang akan berdampak signifikan terhadap pergerakan mata uang.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% menjadi Rp 14.325/US$, kurang dari 5 menit kemudian rupiah stagnan di Rp 14.340/US$. Rupiah akhirnya melemah 0,07% menjadi Rp 14.350/US$ pada pukul 10:30 WIB.
Kemarin rupiah mampu menguat dengan mulus, bahkan cukup tajam sebesar 0,21% karena membaiknya sentimen dari pelaku pasar. Namun semakin mendekati pengumuman The Fed, para pelaku pasar kini mulai berhati-hati.
The Fed diperkirakan akan mengumumkan percepatan pengurangan atau pengurangan nilai program pembelian asetnya (Quantitative Easing/QE), dan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun depan.
Pelaku pasar akan melihat seberapa agresif Fed akan menormalkan kebijakan moneternya.
Pendapat para analis terbagi, baik mengenai kebijakan The Fed, maupun arah dolar AS.
"Pasar sudah memprediksi The Fed akan menyelesaikan tapering pada Q1-2022, dan mengharapkan suku bunga akan dinaikkan pada awal musim panas," kata Joe Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, di Washington, seperti dilansir CNBC International.
Manimbo mengatakan jika The Fed menyatakan tidak bisa mentolerir inflasi tinggi, itu berarti bank sentral paling kuat di dunia itu hawkish, dan dolar AS berpotensi naik.
Artinya rupiah akan tertekan.
Sementara itu, analis lain menilai penguatan dolar AS belakangan ini telah mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain normalisasi kebijakan moneter. Sehingga dolar AS akan sulit untuk terus menguat.
"Melihat data inflasi, banyak yang khawatir akan naik lebih tinggi lagi. Melihat bagaimana dolar AS bergerak, ada kelegaan bahwa inflasi tidak setinggi yang diperkirakan," kata Mazen Issa, ahli strategi mata uang senior di TD Sekuritas.
Jumat lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa inflasi berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) pada November tumbuh 6,8% year-on-year (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982. Namun, setelah rilis data inflasi, Indeks dolar AS justru turun 0,18%.
Issa juga mengatakan pasar saat ini sedang memperhitungkan atau mengukur kenaikan suku bunga The Fed yang membuat dolar AS malah mengalami koreksi. Karena inflasi tidak setinggi yang diharapkan dan The Fed kemungkinan tidak akan agresif menaikkan suku bunga.