kabaris.com - Negara-negara anggota G20 memasukkan isu Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk pembahasan lebih lanjut di tingkat working group dan high-level G20 Presidency pada 2022.
Sampai dengan berakhirnya pertemuan tingkat deputi Finance and Central Bank Deputies Meeting (FCBD) di Nusa Dua Bali pada 10 Desember 2021, kami masih tetap memperhitungkan keuntungan dan kerugian jika CBDC ini diterbitkan.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan CBDC merupakan akibat dari suatu kondisi yang tidak dapat dihindari, karena saat ini banyak mata uang yang didesain dalam bentuk digital.
Dalam FCBD G20, kata Doddy, ada dua masalah terkait CBDC yang di Indonesia dikenal dengan 'rupiah digital', yaitu apakah akan dikeluarkan oleh bank sentral serta mata uang dalam bentuk cetak atau dikeluarkan atau dikeluarkan oleh swasta. sektor atau swasta.
Kondisi saat ini, CBDC lebih berkembang yang dikeluarkan oleh pihak swasta, misalnya bitcoin, stablecoin, dan sebagainya. Tentu saja, dari sudut pandang bank sentral, bank sentral menginginkan CBDC diterbitkan.
Meski demikian, seluruh bank sentral negara-negara G20, kata Dody, masih terus mempertimbangkan dan menilai untung rugi jika CBDC ini diterbitkan.
Dari segi manfaat akan membuat pergerakan lebih cepat, Flowing juga lebih hemat walaupun tidak ada biaya cetak, jelas Dody saat konferensi video dengan awak media di Bali, dikutip Sabtu (12/11/2021). ).
"Hanya saja kita harus mempertimbangkan biaya keuangan makro atau risiko CBDC. Karena CBDC ini sangat cepat mempengaruhi kecepatan uang beredar di masyarakat. Tanpa pengawasan ketat, tidak ada pencatatan, tidak ada yang tahu," kata Dodi. melanjutkan
Karena itu, BI memandang penerbitan dan alur transaksi CBDC ini harus di bawah kendali bank sentral. Karena jika berada di luar pengawasan bank sentral, maka bank sentral akan semakin sulit melihat arus transaksi penerbitan CBDC.
Akibatnya, jika CBDC tidak berada di bawah pengawasan bank sentral, maka hasil akhirnya akan berdampak pada likuiditas CBDC terhadap harga dan kenaikan inflasi.
“Karena memungkinkan konsumsi masyarakat, aktivitas masyarakat, investasi dilakukan tanpa mengetahui seberapa besar likuiditasnya,” ujarnya.
Hal lain yang juga menjadi perhatian bank sentral dalam menerbitkan CBDC adalah risiko efektivitas kebijakan. Ditambah juga dari dampak risiko sektor keuangan.
BI khawatir akan ada pinjaman dari bank yang tidak terdaftar, sehingga menimbulkan shadow banking.
“Ingat, kejadian di China yang sebagian besar transaksinya karena aktivitas yang dilakukan electronic digital banking. Itu yang terus kita lihat,” jelas Dody.
Semua bank sentral juga tidak memiliki target kapan CBDC ini bisa diterbitkan, karena belum ada kesepakatan dan standarisasi CBDC apa yang bisa disepakati oleh semua negara. Karena itu diharapkan CBDC dapat digunakan sebagai transaksi antar negara atau lintas batas.
"Intinya, jika ada CBDC, itu harus memiliki interlink lintas batas, memungkinkan transaksi antar negara lebih mudah, cepat dan murah."
“Murah itu penting, kalau tidak ada standarisasi tentu ada biaya yang akan terjadi jika ada transaksi lintas batas,” jelas Dody.