Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia
kabaris -- Isi pesan WhatsApp Group saya belakangan ini dipenuhi dengan pertanyaan dan kegelisahan. Isinya soal kasus kematian anak-anak akibat gagal ginjal akut gara-gara sirop obat penurun panas. Hingga akhir awal November, tercatat sedikitnya 190 bocah meninggal dunia dalam kasus ini.
Sebagai ibu dengan putri berusia enam tahun, kegundahan serupa pun saya rasakan. Termasuk soal sebagian obat yang diduga terkait dengan kasus gagal ginjal, ada di lemari obat rumah.
"Harus diapakan obat-obatan ini? Bagaimana dengan anak saya yang sempat meminumnya karena batuk pilek bulan lalu?" demikian pertanyaan muncul di benak.
Saya telusuri semua informasi namun masih ada kebingungan. Informasi cepat sekali berubah. Saya pun memeriksa lagi akun akun resmi Ikatan Dokter Anak dan Ibu (IDAI), namun belum bisa menuntaskan keragu-raguan kali ini.
Namun sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan sejumlah produk obat sirop yang mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) menjadi sebab kematian kasus gagal ginjal. Lembaga itu menduga kedua zat tersebut merupakan cemaran dan bukan sebagai bahan baku tambahan yang digunakan pada formulasi dan proses produksi obat sirup.
Cemaran tersebut diduga berasal dari empat bahan baku tambahan, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.
Di tengah kebingungan ini, pertanyaan dari teman dan keluarga juga terus berdatangan.
Salah satu teman mengatakan anaknya baru saja meminum obat yang termasuk dalam daftar obat mengandung EG dan DEG. "Apa yang harus aku lakukan?" kata dia sambil sesekali terisak.
Saya hanya bisa jawab sebisanya: tetap tenang, ganti obat dengan bentuk tablet. Namun, mungkin semua orang tua tahu betapa sulitnya tablet ini dikonsumsi bocah ketika sakit, terutama bagi balita.
Saya pun memperhatikan bagaimana perkembangan kasus ini hari demi hari.
Selama itu pula, saya menonton video berseliweran tentang detik-detik sebagian korban bocah meninggal karena gagal ginjal. Di sisi lain, saya juga memperhatikan bagaimana komunikasi antar lembaga pemerintah saling lempar.
BPOM mengatakan pihaknya tak mengawasi impor bahan baku Propilen Glikol dan Proetilen Glikol. Dua senyawa kimiawi ini, demikian lembaga itu, diimpor di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan karena termasuk bahan baku nonlarangan terbatas (lartas). Cemaran melebih ambang batas 0,1 persen dari dua bahan baku itulah yang diduga berubah ke EG dan DEG dalam sirop penyebab gagal ginjal akut.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan bahan baku Propilen Glikol dan Proetilen Glikol termasuk dalam kategori Technical Grade yang bisa saja dipakai untuk industri lain macam cat dan tekstil. Selain itu, kata dia, harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan Pharmaceutical Grade.
Sehingga, katanya, ketika BPOM menemukan hubungan sebab akibat antara industri farmasi yang memakai pelarut Propilen Glikol maka hal itu dianggap sebagai kejahatan obat.
"Dan ini juga kejahatan kemanusiaan," demikian Penny di dalam suatu rapat dengan DPR pekan lalu.
Kementerian Perdagangan pun angkat suara. Lembaga itu mengungkapkan BPOM seharusnya sudah tahu siapa saja produsen farmasi yang menggunakan bahan baku.
"BPOM yang tahu harusnya siapa saja produsen-produsen farmasi yang menggunakan barang itu. Sehingga kemarin ada opsi pengawasannya yang harus diketatkan," kata Direktur Impor Kementerian Perdagangan Sihard Hadjopan Pohan, beberapa waktu lalu.
Penegakan Hukum
Walaupun ada aksi saling lempar, untungnya upaya penegakan hukum pun mulai terlihat.
Kepolisian melakukan penyelidikan ke sejumlah produsen farmasi terkait dengan dugaan penggunaan bahan pelarut sirop itu di pelbagai daerah. Hasilnya, ada sejumlah produk obat yang mengandung cemaran 100 kali EG dan DEG.
"Terbukti menggunakan Etilen Glikol 48 miligram per mililiter. Padahal syaratnya harus kurang dari 0,1 miligram. Ini hampir 100 kalinya," kata Penny lagi.
Tetapi, hingga kini tak seorang atau satu institusi pun menjadi tersangka. Padahal, saya melihat ada sejumlah nama perusahaan yang telah diungkap di hadapan publik dan diduga menggunakan bahan baku yang melebihi ambang batas dalam sirop obat mereka.
Sebagai ibu, saya melihat kesan pola komunikasi pemerintah soal kasus gagal ginjal akut itu membingungkan. Sementara pelaku kejahatan sudah terungkap namun belum diproses hukum, korban-korban lain kasus gagal ginjal akut bisa jadi terus bergelimpangan di Tanah Air.
Kaum ibu, saya kira, menghadapi masalahnya kian bertumpuk gara-gara persoalan ini.
Satu sisi, kami terus membujuk anak untuk meminum obat tablet pengganti sirop ketika mereka demam. Sisi lainnya, kami menghadapi kegamangan atas informasi yang disampaikan pemerintah menghadapi kasus gagal ginjal akut ini.
Tak hanya itu, hingga kini juga belum ada permintaan maaf dari satu lembaga pun terkait dengan kasus gagal ginjal akut. Baik dari lembaga negara maupun instansi terkait dengan kasus itu. Hal ini, bisa saja bikin sebagian orang makin geram.
Saya membayangkan bagaimana para aparatur negara meminta maaf atas kejadian demi kejadian yang merenggut nyawa ratusan bocah ini. Mungkin seperti yang terjadi di Itaewoon, Korea Selatan.
Polisi hingga wali kota membungkuk dalam-dalam karena mengakui kesalahan mereka atas tragedi yang menyebabkan kematian ratusan orang di acara Haloween pada akhir Oktober lalu.
Lantas, bagaimana nasib ratusan orang tua yang sudah ditinggalkan anak-anak mereka?
Saya kira, akan ada malam-malam yang bikin mereka terbangun dan menangis. Tempat tidur mungil yang kosong. Lemari baju si kecil yang tersisa. Atau mengingat tontonan film kartun kesayangan mereka.
Dan saya bertanya, siapa yang harus bertanggung jawab atas kesedihan tak berbatas kali ini?